Rabu, 16 Juni 2010

Cerpen : Where’s True Friend (3)

Gue Alin.

Saat ini gue lagi menghadapi masalah yang bisa disebut dengan konflik batin, tapi masih dalam taraf yang biasa aja. Dan itu cukup membuat gue berpikir terus tentang ini.
Apa istimewanya menjadi gue. Hidup gue terlalu hampa untuk dimaknai. Ngga ada sesuatu yang berarti di hidup gue. Selama ini gue berusaha menjadi diri yang baik. Tapi kenapa gue selalu aja jadi yang terasingkan. Gue udah mencoba ‘muncul’, tapi tetap aja ngga ada yang mengerti dan ngga ada yang mencoba menganggap gue ada di dunia ini.

Apa gue lagi kena penyakit krisis percaya diri? Ngga juga. Gue cuma males menghadapi kenyataan bahwa diri gue ngga punya andil besar dalam mempengaruhi diri gue sendiri.
Gue males. Bener-bener males. Peristiwa dua tahun lalu membuat gue sulit percaya sama orang. Ingatan-ingatan tentang hancurnya persahabatan gue, retaknya keluarga gue. Itu semua membuat gue males menghadapi keadaan sekarang. Dunia kampus yang memuakkan. Dengan semua orang yang memakai topeng. Berpura-pura baik. Atau menjadi seseorang yang bukan dirinya.

Entah kenapa tiba-tiba perasaan itu muncul. Perasaan ingin mencoba dimengerti dan dianggap ada. Perasaan itu pernah hilang selama hampir dua tahun. Saat itu, selalu ada pikiran yang bikin gue ngga pengen hidup di dunia ini.
Gue merasa, apa gue terlalu buruk di mata orang-orang, sampai orang-orang menganggap diri gue ngga ada di sini. Gue kadang kesal sama orang yang rela melakukan apa aja supaya diakui, dianggap ‘ada’ dan diterima oleh orang-orang, sekalipun jalannya ngga bener.

Gue bukan pecundang, tapi kenapa kadang gue selalu menganggap diri gue begitu. Terus untuk apa gue hidup, kalau mereka ngga mau menganggap gue ‘ada’, dan membuat gue merasa terasingkan. Kenapa harus terjadi sama gue? Lo salah Alin! Lo ngga seharusnya berpikiran kaya gitu. Lo bukan pecundang! Yang bikin lo merasa terasingkan adalah diri lo sendiri yang ngga mau terbuka. Lo cuma butuh orang-orang yang sama-sama mencari jawaban kaya lo. Untuk menemukan jawabannya lo butuh sahabat!. Tiba-tiba ada suara yang sepertinya ke luar dari hati gue. Dan lo bakal mendapatkan apa yang ngga pernah lo dapatkan dari sebuah persahabatan.
Apa iya gue butuh teman. Siapa yang mau temenan sama gue apalagi bersahabat? Emangnya ada?.
“Lin? Mau gabung ngga?” tanya Suci saat mengerjakan tugas pak Jun.
Kenapa Suci nawarin gue? Ah! Mungkin cuma basa-basi aja. Karena gue tahu dia dan teman-temannya itu mana mau berteman dengan orang kaya gue yang biasa aja dan ngga bisa apa-apa ini.

Ehm, tumben Tarra sendirian. Ke mana temen-temen setianya itu?. Kasian banget sih! Tapi lebih kasihan gue khan, di saat gue lagi bingung kaya gini mana ada orang yang peduli sama gue. Sedangkan Suci atau Tarra pasti selalu dapet perhatian dari sahabat-sahabatnya. Enaknya jadi mereka.

Iiiih! Tumben Tarra senyum-senyum sama gue. Kenapa dia? Ah! Pasti dia cuma lagi sok ramah aja sama gue. Selama ini mana pernah dia begitu sama gue, apalagi teman-temannya itu. Gue khan bukan siapa-siapa. Sebenarnya dulu gue pernah gabung di antara mereka, tapi gue cukup tahu diri karena gue ngga sepadan dengan mereka, dan kayanya mereka juga ngga terlalu baik sama gue.

Siang itu gue jalan ke perpus sendirian. Niatnya sih mau pinjam buku buat tugas minggu depan, tapi males juga. Ya udah gue ngeliat-ngeliat buku Psikologi aja yang kelihatannya menarik.
“Where’s True Friend?” Wah, kayanya ini yang menarik.
“Tarra? Suci?”
“Lo dulu aja yang pinjam!” kata Tarra.
“Ngga usah kalian dulu aja!” sambung Suci.
“Gue belakangan aja!” kata gue sambil pergi ninggalin mereka berdua.

* * *

Ngga nyangka ternyata gue bisa sahabatan sama Suci dan Alin sampai sekarang. Dulu gue pikir, Karin, Vanes dan Mia adalah sahabat gue yang sebenarnya. Mereka sih baik sama gue, tapi kebaikan mereka semata-mata hanya karena materi yang gue punya, bukan apa-apa yang ada di hati gue.

Gue bener-bener berterima kasih banget sama sahabat-sahabat gue. Suci dan Alin. Orang tua gue bangga sama gue, akhirnya gue bisa lulus kuliah tepat waktu. Dulu mereka pikir gue bakal lulus dua tahun lebih lama dari waktu yang seharusnya. Karena pertemanan gue dengan Karin dan kawan-kawan. Ini emang udah jalan yang udah Tuhan kasih buat gue.
Dengan cara yang gue ngga pernah tahu, sampai akhirnya gue bertemu dengan Suci dan Alin. Awalnya sih mereka orang lain di mata gue. Walaupun mereka berada dalam ruangan yang sama dengan gue, tapi keberadaan mereka saat itu, sama sekali ngga mempengaruhi gue.
Tapi setelah kejadian di perpustakaan beberapa tahun lalu, semuanya jadi berbeda. Bener kata Suci “Your bestfriend is the one who bring out the best in you”, dari Suci dan Alin gue dapet ketulusan dari sebuah persahabatan.

* * *

Mencari teman itu mudah, tapi yang namanya mencari sahabat itu susah banget. Mudah—mudahan persahabatan aku, Tarra dan Alin yang sudah dibangun bertahun-tahun ngga akan mudah hancur begitu saja. Memang sih dari Arun dan Zea aku banyak belajar menjadi lebih baik, tapi aku sendiri belum mendapatkan suatu ikatan persahabatan dari mereka, sampai sekarangpun aku masih berteman baik dengan mereka. Meskipun aku, Tarra dan Alin kadang suka berbeda pendapat tapi kami bisa saling mengisi. Mudah-mudahan merekalah sesunguhnya sahabatku.

* * *

Sejak berteman dengan Tarra dan Suci gue jadi lebih baik lagi dalam memandang hidup. Suci bilang “Feel good about yor friend”. Iya sih selama ini gue terlalu berprasangka buruk dan terlalu menganggap diri gue ini ngga pantas hidup di dunia, dan menganggap ngga ada satupun orang yang benar-benar mau bersahabat sama gue. Padahal itu cuma pikiran yang sama sekali ngga benar. Ternyata perkataan Tarra sangat berpengaruh juga, “ A person who have no friend, lives only half way.”
Thanks may bestfriend you’ve change my life!!!

***

“Gimana, Tar? udah ketemu Karin?” tanya Suci.
“Belum!” jawab gue.
Gue, Suci dan Alin sedang menunggu pesanan makan siang kami di sebuah kafe di pinggiran Jakarta. Kebetulan, hari ini honor pertama Suci keluar, dia berjanji akan mengajak kami makan sepuasnya di kafe langganan kami sejak semester lima, waktu kami kuliah dulu, kira-kira dua setengah tahun lalu. Sekarang Suci bekerja sebagai seorang scriptwriter di sebuah program televisi di sebuah stasiun TV swasta.

Gue sendiri sekarang sedang bekerja sebagai marketing di sebuah provider laptop ternama di daerah Jakarta Barat. Sedangkan Alin sedang melanjutkan kuliah S2-nya di universitas yang berbeda. Awalnya gue ngga menyangka, kalau Alin lulus sarjana dengan predikat cumlaude. Sama sekali ngga ada yang menyangka hal itu. Gue bangga melihat Alin yang sekarang. Dia menjadi orang yang sangat percaya diri dan terbuka. Menjadi orang yang selalu positif dalam berfikir. Tidak seperti beberapa tahun lalu saat pertama kali gue mengenalnya.
“Jadi dia belum lulus kuliah juga?” tanya Alin.
Gue menggeleng ragu, “gue denger dari Vanes begitu.”
“Jangan-jangan dia malu ketemu sama lo, Tar?” ujar Suci.
Gue cuma mengangkat bahu. “Buat apa dia malu ketemu gue.”
“Ya, inget khan dulu gimana dia dan teman-temannya mencaci maki lo saat lo membelot dari Karin dan gengnya itu, dan ngga ngakuin lo lagi sebagai bagian dari mereka,“ ujar Suci sambil menyeruput segelas jus mangga.

Gue hanya menggeleng mendengar penuturan Suci sambil mendesah, “udahlah. Itu masa lalu. Hmm, padahal gue mau bantuin dia, gue denger dari Vanes dia lagi butuh pekerjaan untuk biaya kuliahnya. Kebetulan di kantor gue lagi butuh karyawan.”
“Maksud lo apa?” tanya Alin penasaran.
“Gue juga kurang tahu jelas, katanya kondisi ekonomi keluarganya lagi carut marut, makanya Karin lagi butuh banget pekerjaan.”

Tiba-tiba ponsel gue berbunyi.
“Halo Tarra! ini gue Karin!” suara yang berbeda dari yang gue dengar beberapa tahun lalu. Kali ini suara Karin terdengar begitu lembut dan bersahabat. Ngga nyaring dan ngga terdengar membentak-bentak seperti dulu.
“Iya Karin! gue ngga mungkin lupa sama lo, koq!”sahut gue. “Lo khan bestfriend gue!”
Ada sebuah kelegaan muncul saat gue menyebut Karin sebagai bestfriend gue. Ada satu pelajaran lagi yang gue baru pelajari. Walaupun Karin dulu sempat mengenyahkan gue dari daftar temannya, tapi saat ini justru gue lega bisa kembali komunikasi dengan Karin. Semoga ini akan menjadi awal yang baru bagi hubungan pertemanan gue dengan Karin yang sempat retak beberapa tahun lalu.

1 komentar: