Aku Suci.
Hari ini aku bangun kesiangan. Seingatku, baru kali ini aku kesiangan. Bagaimana mungkin aku bisa kesiangan, padahal aku ngga terlambat tidur.
Akhir-akhir semangat kuliahku sedang berada di bawah standar kemalasanku. Entah apa yang membuatku begitu berat melangkah masuk ke ruangan kuliah jam pertama ini. Bertemu dengan kedua teman akrabku.
Apa mungkin karena aku sedang merasa sedikit ngga sreg sama Arun dan Zea. Ngga tahu kenapa. Mungkin bagi sebagian orang masalah ini masalah sepele. Tapi bagiku itu merupakan sesuatu yang penting juga. Selama ini aku kenal banyak orang untuk aku jadikan teman, tapi yang benar-benar jadi teman sejati itu susah. Dan mungkin saat inipun aku belum menemukannya, meskipun aku, Arun dan Zea cukup dekat.
Hari ini kuliah pagi, tapi aku datang agak kesiangan. Di kelas, aku lihat ada Roby, Dian, Anty, dan Tarra. Satu pertanyaan terbesarku saat itu adalah, tumben banget Tarra sendirian? Ke mana teman-temannya?. Ternyata dia bisa ‘hidup’ juga tanpa teman-temannya yang heboh itu. Baru beberapa menit kemudian Arun dan Zea datang bersamaan. Tumben mereka juga kesiangan.
Sebelum pak Jun selesai mengajar, beliau memberi tugas pada kami. Belum apa-apa, sebagian mahasiswa sudah merubung bangkuku, Arun dan Zea. Bukannya sombong, tapi kadang asik juga jadi bahan contekkan. Itu berarti mereka masih menganggap bahwa kami ‘ada’. Tapi aku lihat Tarra malah cuek banget sama tugas itu, dia menyendiri menjauhi teman-temannya.
Mata kuliah kedua di mulai satu jam lagi. Satu jam kosong ini, biasanya kami gunakan untuk sarapan pagi, bagi mereka yang belum sarapan pagi. Atau sekedar duduk-duduk ngobrol di bangku taman.
“Arun! Zea! Ayo!” ajakku pada mereka untuk menemui teman-temanku yang kebetulan berasal satu SMA denganku dulu.
“Ngga ah, Ci! Gue mau k e warnet,” tolak Arun.
“Males, Ci!” begitu juga dengan Zea, “Ngapain sih?!”
Aku sering bingung dengan sikap mereka yang kadang terkesan sombong. Di kelaspun begitu, mungkin karena mereka itu lebih pandai dibanding mahasiswa seangkatannya, kadang mereka ngga mau berteman dengan orang yang bagi mereka bodoh, malas atau apalah. Aku sebenarnya ngga suka dengan sikap mereka yang seperti itu. Mungkin itu juga yang membuat mereka jadi jauh dengan mahasiswa lainnya. Tadinya aku enjoy sama mereka tapi akhir-akhir ini aku mulai merasa ngga suka dengan mereka, sekalipun aku sangat dekat dengan mereka.
Aku pikir orang jenius kaya mereka bakal mau menerima orang apa adanya. Tapi buktinya pola pikir mereka jauh dari apa yang aku kira selama ini. Aku serba salah. Aku butuh teman, tapi bukan teman yang menganggap dirinya paling hebat, Aku jadi ingat Tarra, pasti enak punya sahabat yang selalu sejalan, sepikiran dan sehati kaya mereka berempat.
Aku terus mencoba memaksa mereka agar mau ikut denganku paling tidak hanya menyapa teman-temanku itu. Akhirnya mereka setuju tapi dari wajahnya terpancar wajah ketidaksenangan. Mudah-mudahan aku salah mengartikan guratan di wajah mereka.
Sekilas aku melihat Tarra berjalan sendirian. Dia terlihat berbeda dari biasanya. Wajahnya juga kelihatan ngga bersemangat, apa dia sedang ada masalah dengan teman-temannya. Sangat jarang malah hampir tidak pernah aku melihat salah satu anggota geng heboh – kata Arun – itu jalan sendirian seperti Tarra saat ini.
Setelah itu aku, Arun dan Zea ke perpustakaan. Arun dan Zea segera berkutat di tempat buku-buku ekonomi. Aku malah menyusuri rak buku dari fakultas psikologi. Tak ada yang menuntunku ke tempat ini, namun tiba-tiba saja kakiku melangkah dengan santai ke deretan rak-rak yang belum pernah aku lewati.
Aku teringat dengan masalah yang aku pikirkan tadi malam. Masalah yang sedang aku pikirkan. Ehm, sebenarnya sih bukan masalah. Tapi apa ya namanya, sesuatu yang mengganjal di hati. Mengenai Arun dan Zea. Mereka memang teman terbaikku, tapi mengapa mereka belum bisa aku sebut sebagai sahabat yang sebenarnya.
“Where’s True Friend?” judul buku yang kelihatannya menarik. Ehm…mungkin dari buku itu aku bisa menemukan jawaban dari apa yang aku pikirkan akhir-akhir ini. Baru saja aku hendak mengambilnya tiba-tiba ada 2 tangan lain yang ingin mengambilnya juga.
“Tarra? Alin?”
* * *
To be continued...
Hari ini aku bangun kesiangan. Seingatku, baru kali ini aku kesiangan. Bagaimana mungkin aku bisa kesiangan, padahal aku ngga terlambat tidur.
Akhir-akhir semangat kuliahku sedang berada di bawah standar kemalasanku. Entah apa yang membuatku begitu berat melangkah masuk ke ruangan kuliah jam pertama ini. Bertemu dengan kedua teman akrabku.
Apa mungkin karena aku sedang merasa sedikit ngga sreg sama Arun dan Zea. Ngga tahu kenapa. Mungkin bagi sebagian orang masalah ini masalah sepele. Tapi bagiku itu merupakan sesuatu yang penting juga. Selama ini aku kenal banyak orang untuk aku jadikan teman, tapi yang benar-benar jadi teman sejati itu susah. Dan mungkin saat inipun aku belum menemukannya, meskipun aku, Arun dan Zea cukup dekat.
Hari ini kuliah pagi, tapi aku datang agak kesiangan. Di kelas, aku lihat ada Roby, Dian, Anty, dan Tarra. Satu pertanyaan terbesarku saat itu adalah, tumben banget Tarra sendirian? Ke mana teman-temannya?. Ternyata dia bisa ‘hidup’ juga tanpa teman-temannya yang heboh itu. Baru beberapa menit kemudian Arun dan Zea datang bersamaan. Tumben mereka juga kesiangan.
Sebelum pak Jun selesai mengajar, beliau memberi tugas pada kami. Belum apa-apa, sebagian mahasiswa sudah merubung bangkuku, Arun dan Zea. Bukannya sombong, tapi kadang asik juga jadi bahan contekkan. Itu berarti mereka masih menganggap bahwa kami ‘ada’. Tapi aku lihat Tarra malah cuek banget sama tugas itu, dia menyendiri menjauhi teman-temannya.
Mata kuliah kedua di mulai satu jam lagi. Satu jam kosong ini, biasanya kami gunakan untuk sarapan pagi, bagi mereka yang belum sarapan pagi. Atau sekedar duduk-duduk ngobrol di bangku taman.
“Arun! Zea! Ayo!” ajakku pada mereka untuk menemui teman-temanku yang kebetulan berasal satu SMA denganku dulu.
“Ngga ah, Ci! Gue mau k e warnet,” tolak Arun.
“Males, Ci!” begitu juga dengan Zea, “Ngapain sih?!”
Aku sering bingung dengan sikap mereka yang kadang terkesan sombong. Di kelaspun begitu, mungkin karena mereka itu lebih pandai dibanding mahasiswa seangkatannya, kadang mereka ngga mau berteman dengan orang yang bagi mereka bodoh, malas atau apalah. Aku sebenarnya ngga suka dengan sikap mereka yang seperti itu. Mungkin itu juga yang membuat mereka jadi jauh dengan mahasiswa lainnya. Tadinya aku enjoy sama mereka tapi akhir-akhir ini aku mulai merasa ngga suka dengan mereka, sekalipun aku sangat dekat dengan mereka.
Aku pikir orang jenius kaya mereka bakal mau menerima orang apa adanya. Tapi buktinya pola pikir mereka jauh dari apa yang aku kira selama ini. Aku serba salah. Aku butuh teman, tapi bukan teman yang menganggap dirinya paling hebat, Aku jadi ingat Tarra, pasti enak punya sahabat yang selalu sejalan, sepikiran dan sehati kaya mereka berempat.
Aku terus mencoba memaksa mereka agar mau ikut denganku paling tidak hanya menyapa teman-temanku itu. Akhirnya mereka setuju tapi dari wajahnya terpancar wajah ketidaksenangan. Mudah-mudahan aku salah mengartikan guratan di wajah mereka.
Sekilas aku melihat Tarra berjalan sendirian. Dia terlihat berbeda dari biasanya. Wajahnya juga kelihatan ngga bersemangat, apa dia sedang ada masalah dengan teman-temannya. Sangat jarang malah hampir tidak pernah aku melihat salah satu anggota geng heboh – kata Arun – itu jalan sendirian seperti Tarra saat ini.
Setelah itu aku, Arun dan Zea ke perpustakaan. Arun dan Zea segera berkutat di tempat buku-buku ekonomi. Aku malah menyusuri rak buku dari fakultas psikologi. Tak ada yang menuntunku ke tempat ini, namun tiba-tiba saja kakiku melangkah dengan santai ke deretan rak-rak yang belum pernah aku lewati.
Aku teringat dengan masalah yang aku pikirkan tadi malam. Masalah yang sedang aku pikirkan. Ehm, sebenarnya sih bukan masalah. Tapi apa ya namanya, sesuatu yang mengganjal di hati. Mengenai Arun dan Zea. Mereka memang teman terbaikku, tapi mengapa mereka belum bisa aku sebut sebagai sahabat yang sebenarnya.
“Where’s True Friend?” judul buku yang kelihatannya menarik. Ehm…mungkin dari buku itu aku bisa menemukan jawaban dari apa yang aku pikirkan akhir-akhir ini. Baru saja aku hendak mengambilnya tiba-tiba ada 2 tangan lain yang ingin mengambilnya juga.
“Tarra? Alin?”
* * *
To be continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar