Sebenarnya lagi banyak kerjaan. Tapi gue kasian lihat blog gue kosong melompong. Tragis di tinggal penulis. Menangis karena penulis lagi meringis. Mengais-ngais.
Halaaah apaan c, ga jelas.
udah ah.. mau balik gawe!
Jumat, 19 Februari 2010
Jumat, 12 Februari 2010
Cerpen : Jika Kau Cinta Dia (2)
Kenapa harus terjadi padaku. Aku tak pernah jatuh cinta sebelumnya. Dan akupun tak pernah merasakan rasa sakit seperti ini sebelumnya. Kenapa semua orang mau mengambil Putri dariku?
“Aku ngga sanggup lagi, Putra! Tolong aku!”
Putri menangis setiap malam. Orang tuanya hendak menikahkan Putri dengan seorang pria berusia 15 tahun lebih tua darinya. Maka dari itulah hubunganku dengan Putri tak pernah direstui orang tuanya, dengan alasan Putri harus menyelesaikan studi S1 nya dulu. Dan juga karena aku belum mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah.
Tapi ternyata dibalik itu sudah ada rencana lain sehingga Putri tak diizinkan menjalin hubungan denganku.
Aku datangi rumahnya, aku katakan pada ibunya bahwa Putri tak mau dinikahkan dengan cara seperti ini. Putri tertekan dengan sikap orang tuanya yang keras. Tapi orang tuanya tak menggubris kata-kataku. Rasanya tak mungkin aku bertindak terlalu jauh.
Apa karena aku menyayangi Putri terlalu sederhana, sehingga tak berani melakukan hal-hal konyol. Bukan tak berani. Tapi apa itu bukannya kelakuan yang tak lebih dari seorang anak kecil yang menangis saat sesuatu yang disayanginya hendak diambil orang.
Aku ingin memperjuangkan Putri. Tapi apa yang bisa aku lakukan jika sudah pada tahap ini. Apa yang bisa aku lakukan untuk Putri.
“Jangan bertindak bodoh, Putri. Apa kamu mau melihat orang tua kamu sedih Putri?”
“Tapi apa mereka peduli padaku, Putra?” ujar Putri sesenggukan menangis.
“Putri aku mohon jangan menangis, aku mohon!”
“Aku hanya bisa menangis, agar mereka tahu bahwa aku sedang tersiksa,”
Aku tak tega mendengar suara Putri. Yang lebih tak tega lagi adalah tahu bahwa seminggu lagi Putri akan sidang sarjana. Ya Tuhan. Semoga Putri bisa melewati ujian ini. Betapa tega orang tua Putri. Mengapa hanya karena harta, Putri jadi tumbal. Aku ingin berontak. Aku ingin menyelamatkan Putri.
Besok pagi Putri akan dinikahkan. Tuhan tolong aku. Apa yang harus aku lakukan. Aku harus bagaimana…
“Putra…aku ingin pergi saja dari dunia ini. Biar mereka bahagia dengan apa yang mereka inginkan…”
***
Bukan karena tak ada perjuangan. Tapi apa yang sudah Tuhan gariskan lah semua terjadi. Putri sudah tak ada lagi. Dia sudah menjadi milik orang lain. Putri aku tahu kamu masih menyayangiku seperti aku menyayangimu. Putri hadapilah ini semua dengan sabar. Tuhan pasti menolongmu. Putri tetaplah kuat. Semoga kau bisa mencintai suamimu suatu saat nanti. Biarlah aku tetap menjaga hati ini, semampuku. Aku tahu kamu tak pernah ingin aku berjanji apa-apa.
Aku tak pernah memintamu berjanji untuk tetap mencintaiku. Karena nyatanya itu sudah tak mungkin. Aku tak ingin melupakanmu. Aku tak memintamu untuk tetap mengingatku. Terserah padamu.
Putri apakah aku masih boleh menangisi kepergianmu. Putri apakah karena cintaku yang terlalu sederhana sehingga tak bisa menyelamatkanmu Putri?, Putri apakah kamu marah padaku karena tak bisa menyelamatkanmu.
Aku hanya bisa melepasmu dengan perasaan yang amat sangat kacau. Aku masih belum berhasil menata hatiku untuk ikhlas melepasmu. Apa yang harus aku lakukan?, aku hilang arah Putri.
Aku hampa tanpa ada senyummu. Aku harus mencari ke mana senyum seperti itu lagi?.
Tuhan bantu aku menata hatiku agar aku ikhlas menerima kepergian Putri.
“Putra jangan pernah berubah. Aku masih ingin berada di sampingmu. Aku ngga bisa jauh dari kamu, Putra!”
“Tapi itu ngga mungkin lagi Putri. Putri aku mohon jangan buat dirimu dalam masalah. Kamu sudah jadi milik orang lain sekarang,”
“Aku bisa gila!” lagi-lagi Putri menangis. “Putra. Aku ngga bisa melihat mata kamu lagi, jadi bagaimana aku tahu apakah kamu masih sayang aku?”
Aku menahan tangis. Ini pertama kalinya Putri menanyakannya setelah beberapa tahun. “Apa yang bisa diharapkan dari aku Putri seandainya aku masih sayang kamu?”
“Hati ini akan tenang!”
***
“Putra orang yang introvert!”
“Apakah itu salah satu penyebab dia seperti ini?”
“Ya. Salah satunya itu, dia tak mau berbagi cerita dengan siapapun, hanya pada Putri ia berbagi cerita, ia kehilangan yang ia miliki saat tak ada lagi Putri dalam hidupnya, menganggap Putri telah tiada.”
Setelah peristiwa itu. Jiwa Putra hilang entah kemana. Apakah ini lucu? Apakah ini dramatis atau terlalu didramatisir?
Ketika cinta pergi menangislah manusia yang tadinya menganggap dirinya tegar. Cinta bisa membuat seseorang yang tadinya tegar menjadi rapuh, yang tadinya rapuh menjadi tegar.
Jiwa Putra terlalu kuat akan cinta, tapi sangat lemah saat kehilangan cinta. Jika kau cinta siapapun dalam hidupmu. Hanya butuh satu pedamping yang mengirinya. Keikhlasan dan kekuatan jiwa, dalam menghadapi cinta.
“Aku ngga sanggup lagi, Putra! Tolong aku!”
Putri menangis setiap malam. Orang tuanya hendak menikahkan Putri dengan seorang pria berusia 15 tahun lebih tua darinya. Maka dari itulah hubunganku dengan Putri tak pernah direstui orang tuanya, dengan alasan Putri harus menyelesaikan studi S1 nya dulu. Dan juga karena aku belum mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah.
Tapi ternyata dibalik itu sudah ada rencana lain sehingga Putri tak diizinkan menjalin hubungan denganku.
Aku datangi rumahnya, aku katakan pada ibunya bahwa Putri tak mau dinikahkan dengan cara seperti ini. Putri tertekan dengan sikap orang tuanya yang keras. Tapi orang tuanya tak menggubris kata-kataku. Rasanya tak mungkin aku bertindak terlalu jauh.
Apa karena aku menyayangi Putri terlalu sederhana, sehingga tak berani melakukan hal-hal konyol. Bukan tak berani. Tapi apa itu bukannya kelakuan yang tak lebih dari seorang anak kecil yang menangis saat sesuatu yang disayanginya hendak diambil orang.
Aku ingin memperjuangkan Putri. Tapi apa yang bisa aku lakukan jika sudah pada tahap ini. Apa yang bisa aku lakukan untuk Putri.
“Jangan bertindak bodoh, Putri. Apa kamu mau melihat orang tua kamu sedih Putri?”
“Tapi apa mereka peduli padaku, Putra?” ujar Putri sesenggukan menangis.
“Putri aku mohon jangan menangis, aku mohon!”
“Aku hanya bisa menangis, agar mereka tahu bahwa aku sedang tersiksa,”
Aku tak tega mendengar suara Putri. Yang lebih tak tega lagi adalah tahu bahwa seminggu lagi Putri akan sidang sarjana. Ya Tuhan. Semoga Putri bisa melewati ujian ini. Betapa tega orang tua Putri. Mengapa hanya karena harta, Putri jadi tumbal. Aku ingin berontak. Aku ingin menyelamatkan Putri.
Besok pagi Putri akan dinikahkan. Tuhan tolong aku. Apa yang harus aku lakukan. Aku harus bagaimana…
“Putra…aku ingin pergi saja dari dunia ini. Biar mereka bahagia dengan apa yang mereka inginkan…”
***
Bukan karena tak ada perjuangan. Tapi apa yang sudah Tuhan gariskan lah semua terjadi. Putri sudah tak ada lagi. Dia sudah menjadi milik orang lain. Putri aku tahu kamu masih menyayangiku seperti aku menyayangimu. Putri hadapilah ini semua dengan sabar. Tuhan pasti menolongmu. Putri tetaplah kuat. Semoga kau bisa mencintai suamimu suatu saat nanti. Biarlah aku tetap menjaga hati ini, semampuku. Aku tahu kamu tak pernah ingin aku berjanji apa-apa.
Aku tak pernah memintamu berjanji untuk tetap mencintaiku. Karena nyatanya itu sudah tak mungkin. Aku tak ingin melupakanmu. Aku tak memintamu untuk tetap mengingatku. Terserah padamu.
Putri apakah aku masih boleh menangisi kepergianmu. Putri apakah karena cintaku yang terlalu sederhana sehingga tak bisa menyelamatkanmu Putri?, Putri apakah kamu marah padaku karena tak bisa menyelamatkanmu.
Aku hanya bisa melepasmu dengan perasaan yang amat sangat kacau. Aku masih belum berhasil menata hatiku untuk ikhlas melepasmu. Apa yang harus aku lakukan?, aku hilang arah Putri.
Aku hampa tanpa ada senyummu. Aku harus mencari ke mana senyum seperti itu lagi?.
Tuhan bantu aku menata hatiku agar aku ikhlas menerima kepergian Putri.
“Putra jangan pernah berubah. Aku masih ingin berada di sampingmu. Aku ngga bisa jauh dari kamu, Putra!”
“Tapi itu ngga mungkin lagi Putri. Putri aku mohon jangan buat dirimu dalam masalah. Kamu sudah jadi milik orang lain sekarang,”
“Aku bisa gila!” lagi-lagi Putri menangis. “Putra. Aku ngga bisa melihat mata kamu lagi, jadi bagaimana aku tahu apakah kamu masih sayang aku?”
Aku menahan tangis. Ini pertama kalinya Putri menanyakannya setelah beberapa tahun. “Apa yang bisa diharapkan dari aku Putri seandainya aku masih sayang kamu?”
“Hati ini akan tenang!”
***
“Putra orang yang introvert!”
“Apakah itu salah satu penyebab dia seperti ini?”
“Ya. Salah satunya itu, dia tak mau berbagi cerita dengan siapapun, hanya pada Putri ia berbagi cerita, ia kehilangan yang ia miliki saat tak ada lagi Putri dalam hidupnya, menganggap Putri telah tiada.”
Setelah peristiwa itu. Jiwa Putra hilang entah kemana. Apakah ini lucu? Apakah ini dramatis atau terlalu didramatisir?
Ketika cinta pergi menangislah manusia yang tadinya menganggap dirinya tegar. Cinta bisa membuat seseorang yang tadinya tegar menjadi rapuh, yang tadinya rapuh menjadi tegar.
Jiwa Putra terlalu kuat akan cinta, tapi sangat lemah saat kehilangan cinta. Jika kau cinta siapapun dalam hidupmu. Hanya butuh satu pedamping yang mengirinya. Keikhlasan dan kekuatan jiwa, dalam menghadapi cinta.
Selasa, 02 Februari 2010
Cerpen : Jika Kau Cinta Dia (1)
Apakah kamu ngga bosan dengar kata cinta. Di mana-mana orang bicara cinta. Aku akan bahas cinta secara sederhana. Bagaimana cinta seharusnya kamu hadapi. Bagaimana seharusnya cinta tak kau bangga-banggakan setinggi langit. Bagaimana seharusnya kau mengendalikan cinta, bukan cinta yang mengendalikan kamu. Apa yang seharusnya kamu lakukan saat tak ada cinta lagi menghiasi hidupmu.
Sulit untuk mengatakan arti cinta. Cinta bukanlah sesuatu untuk diartikan, tapi untuk dirasakan, diwujudkan, dipahami, dan dinikmati. Sesederhana itu aku mencintai Putri. Sebagai seorang lelaki mungkin terlalu naïf membicarakan cinta. Tapi apapun alasannya, inilah yang aku rasakan.
Putri adalah orang pertama yang aku jatuhkan cinta, begitu juga Putri, aku adalah orang pertama yang dijatuhkan cintanya. Putri adalah orang yang aku cintai secara sederhana, tidak mensyaratkan apa-apa, tidak menuntut apa-apa. Dia adalah dia. Karena itulah aku sayangi dia.
Aku tak pernah berjanji akan mencintai dia selamanya, menyayangi dia selamanya, dan atau memiliki dia selamanya. Karena apa yang aku dan dia sekarang rasakan adalah untuk saat ini, esok, dan seterusnya. Tak perlu janji untuk membuatnya terikat padaku. Karena diapun tak mau aku berjanji apa-apa. “Aku hanya ingin lihat kamu terus bahagia, agar aku selalu bahagia, Putra” itulah yang selalu dia katakan. “Janji-janji itu nanti hanya akan menerkammu jika kau tak mampu menepatinya, aku tak mau kamu diterkam janji,”
“Iya, Putri. Semampuku aku akan menjaga hati ini,” jawabku. Putri tersenyum. Aku akan menyimpan senyumnya dalam ingatanku.
Semua orang mengejekku, jika aku bicara tentang cintaku pada Putri. Aku hanya tersenyum. Mereka bilang, “Tau apa kamu tentang cinta?”, tapi aku memang tak pernah berusaha mencari arti kata cinta. Aku hanya merasakan apa yang aku rasakan, bukan untukku katakan pada mereka.
Aku tak mau terlalu memusingkan kata-kata mereka. “Apakah Putri adalah satu-satunya wanita yang kamu cintai?”
“Ya!”
Seperti itulah yang aku rasakan. Haruskah aku menjawab, “Ya! Aku sangat mencintai Putri, dia adalah wanita yang paling aku cintai, aku ngga mau kehilangan dia, aku ingin bersamanya selamanya,” haruskah seperti itu? Haruskah? Haruskah agar mereka percaya betapa aku memang mencintainya?.
Aku tak pernah selalu mengatakan aku sayang atau aku cinta Putri. Begitupun dengan dia, tak pernah selalu mengatakan dia sayang atau cintai aku. Haruskah setiap detik ku katakan aku cinta dia?
Aku tak pernah bertanya apakah Putri mencintaiku. Dia pun tak pernah bertanya apakah aku mencintainya. Cukup saat pertama saja. Haruskah setiap saat aku bertanya apakah dia cinta aku?
Aku tak mau terlalu klise dan sama dengan orang-orang, dalam mencintai Putri. Biarlah aku menjadi aku yang hanya aku sendiri yang tahu bagaimana cara mencintai Putri.
Dan.
Apakah salah saat aku terdiam, saat Putri tak ada lagi di sisiku?, Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus berontak dan marah pada kenyataan. Apakah aku harus menangis? Apakah aku harus berkelahi dengan orang yang telah merebut Putri dariku? Apakah karena aku hanya secara sederhana mencintai Putri sehingga aku tak bisa berbuat apa-apa saat Putri menangis meminta pertolonganku.
***
“Sudah dua bulan, Putra begini, Dok!”
“Berapa umur Putra sekarang, Bu?”Tanya seorang Dokter.
“Dua puluh dua, Dok! Jawab Ibu Putra.
“Apakah sebelumnya Ibu pernah membawa Putra ke Psikiater?”
“Sudah pernah. Tapi tak pernah ada hasilnya. Saya ngga tahu lagi harus bagaimana, Dok!”
“Mungkin ibu bisa ceritakan masalah apa yang membuat Putra seperti ini?”
Sulit untuk mengatakan arti cinta. Cinta bukanlah sesuatu untuk diartikan, tapi untuk dirasakan, diwujudkan, dipahami, dan dinikmati. Sesederhana itu aku mencintai Putri. Sebagai seorang lelaki mungkin terlalu naïf membicarakan cinta. Tapi apapun alasannya, inilah yang aku rasakan.
Putri adalah orang pertama yang aku jatuhkan cinta, begitu juga Putri, aku adalah orang pertama yang dijatuhkan cintanya. Putri adalah orang yang aku cintai secara sederhana, tidak mensyaratkan apa-apa, tidak menuntut apa-apa. Dia adalah dia. Karena itulah aku sayangi dia.
Aku tak pernah berjanji akan mencintai dia selamanya, menyayangi dia selamanya, dan atau memiliki dia selamanya. Karena apa yang aku dan dia sekarang rasakan adalah untuk saat ini, esok, dan seterusnya. Tak perlu janji untuk membuatnya terikat padaku. Karena diapun tak mau aku berjanji apa-apa. “Aku hanya ingin lihat kamu terus bahagia, agar aku selalu bahagia, Putra” itulah yang selalu dia katakan. “Janji-janji itu nanti hanya akan menerkammu jika kau tak mampu menepatinya, aku tak mau kamu diterkam janji,”
“Iya, Putri. Semampuku aku akan menjaga hati ini,” jawabku. Putri tersenyum. Aku akan menyimpan senyumnya dalam ingatanku.
Semua orang mengejekku, jika aku bicara tentang cintaku pada Putri. Aku hanya tersenyum. Mereka bilang, “Tau apa kamu tentang cinta?”, tapi aku memang tak pernah berusaha mencari arti kata cinta. Aku hanya merasakan apa yang aku rasakan, bukan untukku katakan pada mereka.
Aku tak mau terlalu memusingkan kata-kata mereka. “Apakah Putri adalah satu-satunya wanita yang kamu cintai?”
“Ya!”
Seperti itulah yang aku rasakan. Haruskah aku menjawab, “Ya! Aku sangat mencintai Putri, dia adalah wanita yang paling aku cintai, aku ngga mau kehilangan dia, aku ingin bersamanya selamanya,” haruskah seperti itu? Haruskah? Haruskah agar mereka percaya betapa aku memang mencintainya?.
Aku tak pernah selalu mengatakan aku sayang atau aku cinta Putri. Begitupun dengan dia, tak pernah selalu mengatakan dia sayang atau cintai aku. Haruskah setiap detik ku katakan aku cinta dia?
Aku tak pernah bertanya apakah Putri mencintaiku. Dia pun tak pernah bertanya apakah aku mencintainya. Cukup saat pertama saja. Haruskah setiap saat aku bertanya apakah dia cinta aku?
Aku tak mau terlalu klise dan sama dengan orang-orang, dalam mencintai Putri. Biarlah aku menjadi aku yang hanya aku sendiri yang tahu bagaimana cara mencintai Putri.
Dan.
Apakah salah saat aku terdiam, saat Putri tak ada lagi di sisiku?, Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus berontak dan marah pada kenyataan. Apakah aku harus menangis? Apakah aku harus berkelahi dengan orang yang telah merebut Putri dariku? Apakah karena aku hanya secara sederhana mencintai Putri sehingga aku tak bisa berbuat apa-apa saat Putri menangis meminta pertolonganku.
***
“Sudah dua bulan, Putra begini, Dok!”
“Berapa umur Putra sekarang, Bu?”Tanya seorang Dokter.
“Dua puluh dua, Dok! Jawab Ibu Putra.
“Apakah sebelumnya Ibu pernah membawa Putra ke Psikiater?”
“Sudah pernah. Tapi tak pernah ada hasilnya. Saya ngga tahu lagi harus bagaimana, Dok!”
“Mungkin ibu bisa ceritakan masalah apa yang membuat Putra seperti ini?”
Langganan:
Postingan (Atom)