Bukan waktu yang tepat untuk menyandarkan kepala di atas meja kerja. Setumpuk pekerjaan harus segera di selesaikan sore ini. Perut keroncongan, tapi tak ada nafsu untuk mengisi. Kepala sakit bukan main. Tapi malang tak dapat di tolak, untung tak dapat di raih. Apa pun itu. Apa saja itu. Sesuatu tentang seseorang yang sekarang sedang duduk manis di sebelah sekat dinding meja kerjanya. Aini membenci nya.
Alfa. Alfa.
Sakit setiap mendengar ada orang yang memanggil namanya. Teriris hatinya bila seseorang masih dengan santai tanpa beban tersenyum pada nya. Perut Aini keroncongan karena lapar. Kepala nya pun berputar-putar tak keruan, karena tak tidur nyenyak dua minggu ini. Ditambah sakit kepala manakala mendengar Alfa cekikikan seperti kuntilanak yang sedang menghantui Aini kemanapun Aini berada. Ah, halusinasi yang berlebihan. Sejak 2 minggu lalu, Alfa bagai horor yang menyakitkan bukan menakutkan.
Alfa sedang ngobrol asyik dengan pacar barunya. Tak ada yang tahu betapa sakitnya Aini saat ini. Aini masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa Alfa bukan miliknya lagi. Aini tidak sanggup bila harus dan masih bekerja dalam naungan satu departemen bersama Alfa, sang penggoda hati wanita. Oh, siapa yang sangka Aini akan terperangkap. Aini tak pernah percaya bahwa Alfa pernah menjadi bagian hidupnya.
Alfa. Alfa.
Sakit. Kenapa ia harus menangis hanya karena seorang pengecut macam Alfa. Ah. Semua telah terjadi. Kini ia hanya bisa diam. Tak ada lagi yang perlu di sesali. Semua sudah terjadi. Biarkan Alfa menikmati kebahagiaan bersama wanita korban selanjutnya. Dan Aini “menikmati” rasa sakit yang luar biasa ini.
Alfa. Alfa.
Aini sudah bosan mengenang. Bagaimana ia begitu cinta kepada Alfa. Bagaimana Alfa begitu pandai membuat Aini tak pernah bisa berpaling. Kini hanya ada satu kata yang memang pas buatnya. Patah Hati.
Pukul 16.00
“Aini? Belum pulang?” Alfa berdiri di depan meja Aini. Oh, betapa penuh karisma-nya laki-laki ini. Tak sadarkah ia akan apa yang telah ia perbuat 2 minggu lalu?menghancurkan hati Aini begitu mudah seperti meremukkan daun kering. Tak sadarkah ia? Ya Tuhan, kenapa kau menciptakan manusia ini begitu tidak peka terhadap gadis seperti Aini. Teriaknya dari dalam hati. Mata elang Alfa menembus dan mengoyak-ngoyak pertahanan Aini untuk tidak kembali mengenang Alfa yang dulu ia cintai. Tapi semua nya bobrok, manakala mata Alfa menatap matanya tanpa sedikitpun merasa bersalah.
Aini teringat 2 minggu lalu,
“Kita berpisah baik-baik ya Ai”, ucap Alfa.
“Kamu masih manggil aku “Ai”?” tanya Aini. Masih tidak percaya kalau Alfa yang kini jadi mantannya masih memanggil dirinya “Ai”. “Ai” adalah panggilan sayang Alfa kepada Aini.
“Ya Ai, nama kamu khan Aini!” jawab Alfa enteng. Oh, Aini terlalu percaya diri kalau Alfa masih ingin memanggilnya “Ai”. “kita masih berteman khan, Ai?”, tanya Alfa lagi.
Ah, semudah itu kah kamu mengambil keputusan bahwa kita masih berteman setelah apa yang kau lakukan padaku? Pengkhianat! Kau hancurkan janjimu sendiri untuk setia padaku. Dasar laki-laki buaya. Teriak Aini dalam hati.
Aini diam terpaku. Alfa pergi dengan tersenyum,
“Gue pulang duluan ya!” pamitnya. Aini tak dapat menahan amarahnya. Aini beranjak dari bangku mengambil sebuah pembolong kertas yang tergeletak di atas mejanya, lalu di lemparnya benda itu ke kepala Alfa. Kepala Alfa berdarah-darah…Namun, aah, ternyata itu hanya khayalan Aini. Andai ia bisa melakukan hal yang lebih kejam daripada itu, supaya sakit hati nya berkurang.
Aini patah hati.
Aini tak mau patah hati.
Aini sakit hati.
Aini tak mau sakit hati.
Segala cara sudah dia lakukan menuruti “Artikel Patah Hati” yang ia dapatkan dari hasil browsing di internet seminggu lalu. Mulai dari melupakan segala sesuatu tentang mantan kekasihnya, menyingkirkan barang-barang pemberian Alfa untuk menghapus kenangan tentangnya, memperbanyak aktivitas di luar rumah, baca buku, ke salon, aahh, semua sudah dilakukan, tapi hasilnya nihil.
Tak ada yang mampu menyembuhkannya saat ini. Aini sebenarnya hanya butuh ketenangan. Butuh pengobatan. Butuh kesejukan dari seseorang atau siapapun yang bisa mengerti dirinya. Ia takkan sanggup bila harus melihat bayangan Alfa sekalipun.
Di ambilnya surat resign yang ia simpan seminggu lalu dari dalam lacinya. Waktu itu, sempat ia renungkan bahwa ia harus menang melawan rasa sakit ini. Ia harus menang melawan ini. Karena ia pikir ia mampu bekerja satu atap dengan Alfa meski jiwa raganya hancur. Tapi kini, ia harus meminta maaf pada dirinya sendiri, maaf pada kelemahan hatinya. Aini telah kalah. Ia tak mau ini merusak jiwanya. Ia harus pergi dari semuanya. Memulai semua dari awal. Dengan sesuatu yang baru. Selamat tinggal jiwa Aini yang lama dengan si Alfa, laki-laki karismatik penuh pesona namun buaya darat nomor satu sedunia.